Minggu, 05 Juni 2016

INFLASI DAN PENGANGGURAN



INFLASI DAN PENGANGGURAN
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Ekonomi Makro
Dosen Pengampu : Husnurrosyidah, S.Pd, M.E.Sy
Disusun oleh :
1.      Noor Choiriyah     (1420220003)
2.      Mahfudl Anwar    (1420220004)
3.      Umi Julianti           (1420220015)


 
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
PRODI EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2016

KATA PENGANTAR


Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah banyak memberikan nikmat kepada kita. Rahmat beserta salam semoga tetap tercurahkan kepada pemimpin akhir zaman yang sangat dipanuti oleh pengikutnya yakni Nabi Muhammad SAW.
Makalah dengan tema Inflasi dan Pengangguran ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Makro. Selanjutnya, penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan pengarahan-pengarahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tidak lupa juga kepada Ibu dosen dan teman-teman yang lain untuk memberikan sarannya kepada kami agar penyusunan makalah ini lebih baik lagi.
Demikian, semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyusun dan umumnya semua yang membaca makalah ini serta dapat mendukung proses pembelajaran.


Kudus,  26 Februari 2016

Penyusun






DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang Masalah

Inflasi dan pengangguran adalah dua masalah penting yang ada pada setiap negara di dunia. Inflasi merupakan masalah ekonomi yang umum dihadapi oleh semua negara, yang memerlukan penanganan khusus. Kenaikan harga dapat mempengaruhi ekonomi secara keseluruhan. Terlebih jika kenaikan harga terjadi secara terus menerus inilah yang disebut dengan inflasi. Namun, jika kenaikan harga hanya terjadi pada satu atau dua barang saja, ini tidak bisa dikatakan sebagai inflasi. Seperti contoh ketika menjelang hari raya Idul Fitri, harga pada barang akan cenderung naik, tetapi setelah hari raya, harga barang akan stabil kembali. Ini bukan inflasi karena kenaikan harga semacam ini tidak dianggap sebagai masalah ekonomi dan tidak perlu dilakukan secara khusus untuk menanganinya.
Selain inflasi, pengangguran merupakan masalah ekonomi yang dihadapi oleh semua negara khususnya negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Kurangnya lapangan kerja dan banyaknya jumlah angkatan kerja yang tidak seimbang menyebabkan adanya pengangguran. Namun disamping itu, banyak faktor lain pula yang menyebabkan adanya pengangguran. Terdapat pula hubungan antara inflasi dan pengangguran yang akan di bahas dalam makalah ini.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan inflasi?
2.      Bagaimana cara menghitung inflasi?
3.      Apa saja macam-macam inflasi?
4.      Apa saja teori tentang inflasi?
5.      Bagaimana efek dari inflasi?
6.      Apa saja kebijakan yang dilakukan untuk mengatasi inflasi?
7.      Apa yang dimaksud dengan pengangguran?
8.      Apa saja jenis-jenis pengangguran?
9.      Apa saja biaya sosial dari pengangguran?
10.  Bagaimana hubungan antara pengangguran dengan inflasi?

C.    Tujuan

1.      Mengetahui pengertian inflasi.
2.      Mengetahui cara menghitung inflasi.
3.      Mengetahui macam-macam inflasi.
4.      Mengetahui teori inflasi.
5.      Mengetahui efek dari inflasi.
6.      Mengetahui kebijakan untuk mengatasi inflasi.
7.      Mengetahui pengertian pengangguran.
8.      Mengetahui jenis-jenis pengangguran.
9.      Mengetahui biaya sosial dari pengangguran.
10.  Mengetahui hubungan pengangguran dengan inflasi.










BAB II

PEMBAHASAN


A.    Pengertian Inflasi

Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga naik secara umum dan terus-menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan ) sebagian besar dari harga barang-barang lain.[1]
Komponen yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan inflasi:[2]
1.      Kenaikan harga, harga suatu komoditas dikatakan naik jika menjadi lebih tinggi daripada harga periode sebelumnya.
2.      Bersifat umum, kenaikan harga suatu komoditas belum dapat dikatakan inflasi jika kenaikan tersebut tidak menyebabkan harga-harga secara umum naik.
3.      Berlangsung terus menerus, kenaikan harga yang bersifat umum juga belum akan memunculkan inflasi, jika terjadinya hanya sesaat. Karena itu perhitungan inflasi dilakukan dalam rentang waktu minimal bulanan. Sebab dalam sebulan akan terlihat apakah kenaikan harga bersifat umum dan terus menerus.

B.     Perhitungan Inflasi

Kenaikan harga diukur dengan menggunakan indeks harga. Beberapa indeks harga yang sering di gunakan untuk mengukur inflasi antara lain :[3]
1.      Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index)
Indeks Harga Konsumen adalah angka indeks yang menunjukkan tingkat harga barang dan jasa yang harus dibeli konsumen dalam satu periode tertentu. Angka IHK diperoleh dengan menghitung harga-harga barang dan jasa utama yang dikonsumsi masyarakat dalam satu periode tertentu. Masing-masing harga barang dan jasa tersebut diberi bobot (weigthed) berdasarkan tingkat keutamaannya. Barang dan jasa yang di anggap paling penting diberi bobot yang paling besar.
Di Indonesia, penghitungan IHK dilakukan dengan mempertimbangkan sekitar beberapa ratus komoditas pokok. Untuk lebih mencerminkan keadaan yang sebenarnya, penghitungan IHK dilakukan dengan melihat perkembangan regional, yaitu dengan mempertimbangkan tingkat inflasi kota-kota besar, terutama ibukota provinsi-provinsi di Indonesia. Sebagai contoh dalam tabel berikut.
Indeks Harga konsumen (IHK) Gabungan 27 Kota di Indonesia
1994-1998 (April 1988- Maret 1989 = 100)

Akhir Periode
IHK
Perubahan IHK (%)
1994
163,17
9,60
1995
177,83
8,98
1996
189,62
6,63
1997
211,62
11,60
1998
375,89
77,63
Sumber : Diolah dari Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia
(Bank Indonesia)

Tabel di atas menyatakan bahwa titik awal penghitungan angka IHK adalah April 1988 Maret 1989, dengan angka 100. Jika angka IHK makin besar, maka telah terjadi inflasi. Misalnya, angka IHK akhir periode 1994 adalah 163,17 menunjukkan selama 1989-1994 telah terjadi inflasi. Angka perubahan IHK (kolom 3) adalah angka inflasi per tahun. Misalnya, IHK 1995 adalah 177,83, angka perubahan IHK-nya 8,98%. Berarti selama periode 1994-1995 telah terjadi inflasi sebesar 8,98%. Angka 8,98% diperoleh dengan menggunakan rumus perhitungan :
Inflasi =  x 100%
Inflasi1995 =  x 100%
                 =  x 100%
                 = 8, 98 %
            Dilihat dari cakupan komoditas yang dihitung IHK kurang mencerminkan tingkat inflasi sebenarnya. Tetapi IHK sangat berguna karena menggambarkan besarnya kenaikan biaya hidup bagi konsumen, sebab IHK memasukkan komoditas-komoditas yang relevan (pokok) yang biasanya dikonsumsi masyarakat.
2.      Indeks Harga Perdagangan Besar (Wholesale Price Index)
Jika IHK melihat inflasi dari sisi konsumen, maka Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) melihat inflasi dari sisi produsen. Oleh karena itu IHPB sering juga disebut sebagai indeks harga produsen (producer price index). IHPB menunjukkan tingkat harga yang diterima produsen pada berbagai tingkat produksi.
Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB), 1995- 1998
(1983 = 100)
Akhir Periode
IHPB
Perubahan IHPB(%)
1995
240
11,62
1996
259
7,92
1997
282
8,88
1998
568
101,42
Sumber : Diolah dari Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia
 (Bank Indonesia)
Prinsip menghitung inflasi berdasarkan data IHPB adalah sama dengan cara berdasarkan IHK.
Inflasi =  x 100 %
3.      Indeks Harga Implisit (GDP Deflator)
Untuk mendapatkan gambaran inflasi yang paling mewakili keadaan sebenarnya, ekonom menggunakan indeks harga implisit (GDP deflator), disingkat IHI.
Inflasi =  x 100%
Mungkin saja terjadi, pada saat ingin menghitung inflasi dengan menggunakan IHI tidak dapat dilakukan karena tidak memiliki data IHI. Hal ini bisa di atasi. Sebab prinsip dasar penghitungan inflasi berdasarkan deflator PDB (GDP Deflator) adalah membandingkan tingkat pertumbuhan ekonomi nominal dengan pertumbuhan riil. Selisih keduanya merupakan tingkat inflasi. Atau dapat dikatakan Inflasi = Pertumbuhan nominal – Pertumbuhan riil.

C.    Macam-Macam Inflasi

Inflasi menurut sifatnya  :[4]
1.      Inflasi ringan (di bawah 10% setahun)
2.      Inflasi sedang (antara 10 - 30% setahun)
3.      Inflasi berat (antara 30 - 100 % setahun)
4.      Hiperinflasi ( di atas 100% setahun)
Inflasi menurut sebabnya :[5]
1.      Demand pull Inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh adanya kenaikan permintaan total (agregate demand), sedangkan produksi telah berada pada keadaan kesempatan kerja penuh atau hampir mendekati kesempatan kerja penuh.
2.      Cost Push Inflation, yaitu inflasi yang ditandai dengan kenaikan harga serta turunnya produksi.


Inflasi menurut asalnya :[6]
1.      Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation)
            Inflasi yang terjadi karena dorongan permintaan misalnya karena gagal panen sehingga stok bahan pangan menjadi berkurang. Inflasi yang terjadi karena kenaikan biaya misalnya karena suku bunga naik, sehingga akan mendorong biaya produksi meningkat dan harga produk pun meningkat pula.
2.      Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation)
            Inflasi yang terjadi karena kenaikan harga di luar negeri yang menyebabkan kenaikan harga di dalam negeri, misalnya bahan baku gandum di luar negeri meningkat maka akan mendorong produksi yang menggunakan bahan baku gandum seperti mie dan roti mengalami kenaikan harga.

D.    Teori Inflasi

Teori inflasi di bagi menjadi tiga yaitu :[7]
1.      Teori Kuantitas
            Teori ini menyoroti peranan dalam proses inflasi dari jumlah uang yang beredar dan “psikologi” (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga (expectations). Inti dari teori ini adalah :
a.       Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang yang beredar (apakah berupa penambahan uang kartal atau penambahan uang giral tidak menjadi soal).
b.      Laju inflasi ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang yang beredar dan oleh “psikologi” (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga di masa mendatang.
2.      Teori Keynes
            Menurut teori ini, inflasi terjadi karena suatu masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonominya. Poses inflasi menurut pandangan ini, tidak lain adalah proses perebutan bagian rezeki di antara kelompok-kelompok sosial yang menginginkan bagian yang lebih besar dari pada yang bisa disediakan oleh masyarakat tersebut. Proses perebutan ini akhirnya diterjemahkan menjadi keadaan dimana permintaan masyarakat akan barang-barang selalu melebihi jumlah barang-barang yang tersedia .
3.      Teori Strukturalis
            Teori strukturalis adalah teori mengenai inflasi yang di dasarkan atas pengalaman di negara-negara Amerika Latin. Teori ini memberi tekanan pada ketegaran (inflexibilities) dari struktur perekonomian negara-negara berkembang. Menurut teori ini, ada dua ketegaran utama dalam perekonomian Negara-negara sedang berkembang yang bisa menimbulkan inflasi, yaitu :
a.       Ketidakelastisan dari penerimaan ekspor, yaitu nilai ekspor yang tumbuh secara lamban dibanding dengan pertumbuhan sektor-sektor lain.
b.      Ketidakelastisan dari supply atau produksi bahan makanan di dalam negeri.

E.     Efek Inflasi

      Inflasi dapat mempengaruhi distribusi pendapatan, alokasi faktor produksi serta produk nasional. Efek terhadap distribusi pendapatan disebut dengan equity effect, sedang efek terhadap alokasi faktor produksi dan produk nasional masing-masing disebut efficiency dan output effect.
1.      Efek terhadap Pendapatan (Equity Effect)
            Efek terhadap pendapatan sifatnya tidak merata, ada yang dirugikan tetapi ada pula yang diuntungkan dengan adanya inflasi. Seseorang yang memperoleh pendapatan tetap akan dirugikan oleh adanya inflasi. Demikian juga orang yang menumpuk kekayaannya dalam bentuk uang kas akan menderita kerugian adanya inflasi. Contoh lain, yang dirugikan karena adanya inflasi adalah orang/pihak yang mmberikan pinjaman uang dengan bunga lebih rendah dari laju inflasi.
            Sebaliknya, pihak-pihak yang mendapat keuntungan dengan adanya inflasi adalah mereka yang memperoleh kenaikan pendapatan dengan persentase yang lebih besar dari laju inflasi. Atau mereka yang mempunyai kekayaan bukan uang dimana nilainya naik dengan persentase lebih besar daripada laju inflasi. Dengan demikian inflasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan dalam pola pembagian pendapatan dan kekayaan masyarakat. Inflasi seolah-olah merupakan pajak bagi seseorang dan merupakan subsidi bagi orang lain.
2.      Efek terhadap Efisiensi ( Efficiency Effect)
            Inflasi dapat pula mengubah pola alokasi faktor-faktor produksi. Perubahan ini dapat terjadi melalui kenaikan permintaan akan berbagai macam barang yang kemudian dapat mendorong terjadinya perubahan dalam produksi beberapa barang tertentu. Dengan adanya inflasi permintaan akan barang tertentu mengalami kenaikan yang lebih besar dari barang lain, yang kemudian mendorong kenaikan produksi barang tersebut. Kenaikan produksi barang ini pada gilirannya akan mengubah pola alokasi faktor produksi yang sudah ada.
3.      Efek terhadap Output (Output Effects)
            Inflasi mungkin dapat menyebabkan terjadinya kenaikan produksi. Alasannya dalam keadaan inflasi biasanya kenaikan harga barang mendahului kenaikan upah sehingga keuntungan pengusaha naik. Kenaikan keuntungan ini akan mendorong kenaikan produksi. Namun apabila laju inflasi ini cukup tinggi (hyper inflation) dapat mempunyai akibat  sebaliknya, yakni penurunan output. Dalam keadaan inflasi yang tinggi, nilai uang riil turun dengan drastis, masyarakat cenderung tidak menyukai uang kas, transaksi mengarah ke barter, yang biasanya diikuti dengan turunnya produksi barang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan langsung antara inflasi dengan output. Inflasi bisa dibarengi dengan kenaikan output, tetapi juga bisa dibarengi dengan penurunan output.[8]

F.     Kebijakan Untuk Mengatasi Inflasi

Pemerintah melakukan beberapa kebijakan untuk menekan laju inflasi, yaitu :[9]
1.      Kebijakan Fiskal
            Kebijakan fiskal untuk mengatasi laju inflasi adalah kebijakan pendapatan dan basis pajak. Dengan adanya kebijakan pendapatan terutama standar gaji PNS akan mempengaruhi komponen pengeluaran pemerintah dan basis pajak sebagai instrumen pengurang pendapatan tidak akan menimbulkan kenaikan harga karena dorongan permintaan. Pajak sebagai alat untuk menekan dorongan permintaan sehingga harga tidak akan naik. Kalau harga tidak mengalami kenaikan, maka inflasi dapat ditekan.
2.      Kebijakan Moneter
            Dengan kebijakan moneter, pemerintah mengatur suku bunga dalam level yang rendah sehingga tidak akan menimbulkan kenaikan biaya produksi yang pada akhirnya akan mendorong pada kenaikan harga dan inflasi.
3.      Deregulasi Sektor Industri
            Deregulasi sektor industri dilakukan pemerintah dengan strategi memperkuat pasar. Misalnya, dengan mengatur kecukupan stok kebutuhan pokok masyarakat. Kalau stok kebutuhan pokok masyarakat terpenuhi, maka tidak akan terjadi kenaikan harga dan selanjutnya dapat menekan laju inflasi.

G.    Pengertian Pengangguran

Pengangguran adalah seseorang yang sudah digolongkan dalam angkatan kerja, yang secara aktif sedang mencari pekerjaan pada suatu tingkat upah tertentu, tetapi tidak dapat memperoleh pekerjaan yang diinginkannya.
Golongan penduduk yang tergolong sebagai angkatan kerja adalah penduduk yang berumur di antara 15 hingga 64 tahun, kecuali :
1.      Ibu rumah tangga yang lebih suka menjaga keluarganya daripada bekerja.
2.      Penduduk muda dalam lingkungan umur tersebut yang masih meneruskan pelajarannya di sekolah dan universitas.
3.      Orang yang belum mencapai umur 65 tetapi sudah pension dan tidak mau bekerja lagi.
4.      Pengangguran sukarela, yaitu golongan penduduk yang  dalam lingkaran umur tersebut yang tidak secara aktif mencari pekerjaan.
Dengan demikian jumlah angkatan kerja  dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut :


L = PL – (IR+MP+PP+PS)
 
 
            dimana,
            L          = Jumlah tenaga kerja (angkatan kerja)
            PL       = Penduduk dalam lingkaran umur 15-64 tahun
            WR      = Ibu rumah tangga yang tidak ingin bekerja
            MP      = Mahasiswa dan pelajar
            PP        = Pekerja yang telah pension dan tidak ingin bekerja lagi
PS    = Orang-orang tidak sekolah dan tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan.
                        Perbandingan di antara angkatan kerja yang sebenarnya dengan penduduk dalam lingkaran umur 15-64 tahun dinamakan tingkat penyertaan tenaga kerja (labour participation rate). Tingkatnya (dinyatakan dalam persen) dapat dihitung dengan :


Tingkat penyertaan (%) =  x 100
 
 
Setelah sebuah negara mendapatkan informasi mengenai dua data yang diterangkan di atas, yaitu jumlah pengangguran dan jumlah tenaga kerja, tingkat pengangguran dapat ditentukan dengan  :


Tingkat pengangguran (%) =  x 100
 
 


Dimana, U adalah jumlah pengangguran dan L adalah jumlah tenaga kerja (angkatan kerja).[10]

H.    Jenis-jenis Pengangguran

Jenis- jenis pengangguran ada empat, yaitu:[11]
1.      Pengangguran Friksional
            Apabila dalam suatu periode tertentu perekonomian terus menerus mengalami perkembangan yang pesat, jumlah dan tingkat pengangguran akan menjadi semakin rendah. Pada akhirnya perekonomian dapat mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja penuh (full employment), yaitu apabila pengangguran tidak melebihi 4 %. Pengangguran ini dinamakan pengangguran friksional (frictional unemployment).
2.      Pengangguran Struktural
            Dikatakan pengangguran structural karena sifatnya yang mendasar. Pencari kerja tidak mampu memenuhi persyaratan yang dibutuhkan untuk lowongan pekerjaan yang tersedia.
3.      Pengangguran Siklis
            Pengangguran siklis atau pengangguran konjungtor adalah pengangguran yang diakibatkan oleh perubahan-perubahan dalam tingkat kegiatan perekonomian.
4.      Pengangguran Musiman
            Pengangguran ini berkaitan erat dengan fluktuasi kegiatan ekonomi jangka pendek, terutama terjadi di sektor pertanian.

I.       Biaya Sosial dari Pengangguran

      Pengangguran akan menimbulkan dampak negatif jika sifat pengangguran sudah sangat struktural dan atau kronis.
1.      Terganggunya stabilitas perekonomian
            Pengangguran struktural dan atau kronis akan mengganggu stabilitas perekonomian dilihat dari sisi permintaan dan penawaran agregat.
a.       Melemahnya permintaan agregat
      Untuk dapat bertahan hidup, manusia harus bekerja. Sebab dengan bekerja dia akan memperoleh penghasilan, yang digunakan untuk belanja barang dan jasa. Jika tingkat pengangguran tinggi dan bersifat struktural, maka daya beli akan menurun, pada gilirannya menimbulkan penurunan permintaan agregat.
b.      Melemahnya penawaran agregat
      Tingginya tingkat pengangguran akan menurunkan penawaran agregat, bila dilihat dari peranan tenaga kerja sebagai faktor produksi utama. Makin sedikit tenaga kerja yang digunakan, makin kecil penawaran agregat. Dampak pengangguran terhadap penawaran agregat makin terasa dalam jangka panjang. Makin lama seseorang menganggur, keterampilan, produktifitas maupun etika kerjanya akan mengalami penurunan.
2.      Terganggunya stabilitas sosial politik
            Pengangguran yang tinggi akan meningkatkan kriminalitas, baik berupa kejahatan pencurian, perampokan, penyalahgunaan obat-obatan terlarang maupun kegiatan-kegiatan ekonomi illegal lainnya. Biaya ekonomi yang dikeluarkan untuk mengatasi masalah-masalah sosial ini sangat besar dan susah diukur tingkat efisiensi dan efektivitasnya.[12]

J.      Hubungan Pengangguran dengan Inflasi

      Hubungan pengangguran dengan upah dan gaji serta inflasi digambarkan oleh Kurva Phillips yang ditemukan oleh A.W Phillips. Kurva Phillips bermanfaat untuk menganalisa pergerakaan pengangguran dan inflasi dalam jangka pendek. Ketika upah dan gaji tinggi, maka pengangguran rendah, dan inflasi tinggi. Upah dan gaji tinggi karena pekerja akan menekankan kenaikan upah dan gaji saat ada beberapa alternatif pekerjaan di luar pekerjaan sekarang. Upah dan gaji yang tinggi akan menyebabkan dorongan permintaan meningkat, kalau agregat permintaan naik, maka harga akan naik dan menimbulkaan inflasi. Sebaliknya, ketika upah dan gaji rendah, maka pengangguran tinggi dan inflasi rendah. Upah dan gaji yang rendah tidak akan menyebabkan dorongan permintaan meningkat, kalau agregat permintaan turun, maka harga akan turun dan tidak akan menimbulkan inflasi.
      Kurva Phillips mengilustrasikan suatu trade-off teori inflasi. Menurut pandangan ini, negara dapat mengusahakan tingkat pengangguran yang lebih rendah apabila bersedia membayar dengan tingkat inflasi yang lebih tinggi. Trade-off ditunjukkan dengan kemiringan kurva Phillips.
      Kurva Phillips jangka panjang berbentuk vertikal, karena dalam jangka panjang hanya terdapat satu tingkat pengangguran yang konsisten dengan inflasi yang tetap, tingkat pengangguran ini disebut dengan pengangguran alamiah. Tingkat pengangguran alamiah adalah tingkat dimana tekanan ke atas dan ke bawah terhadap inflasi harga dan upah berada dalam keseimbangan.[13]
















Text Box: AD1
 








 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



BAB III

PENUTUP


A.    Kesimpulan

      Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga naik secara umum dan terus-menerus. Kenaikan harga diukur dengan menggunakan indeks harga antara lain Indeks Harga Konsumen, Indeks Harga Perdagangan Besar, dan Indeks Harga Implisit.
      Inflasi menurut sifatnya yaitu Inflasi ringan (di bawah 10% setahun), Inflasi sedang (antara 10 - 30% setahun), Inflasi berat (antara 30 - 100 % setahun) dan Hiperinflasi ( di atas 100% setahun). Inflasi menurut sebabnya yaitu Demand pull Inflation dan Cost Push Inflation. Inflasi menurut asalnya yaitu Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation) dan Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation).
      Teori inflasi ada 3 yaitu Teori Kuantitas yang menyoroti peranan dalam proses inflasi dari jumlah uang yang beredar dan “psikologi” (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga (expectations), Teori Keynes yaitu inflasi terjadi karena suatu masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonominya. Dan Teori Strukturalis yang memberi tekanan pada ketegaran (inflexibilities) dari struktur perekonomian negara-negara berkembang yang bisa menimbulkan inflasi yaitu ketidakelastisan dari penerimaan ekspor dan ketidakelastisan dari supply atau produksi bahan makanan di dalam negeri.
      Efek dari inflasi yaitu efek terhadap pendapatan (Equity Effect), Efek terhadap Efisiensi ( Efficiency Effect) dan Efek terhadap Output (Output Effects). Pemerintah melakukan beberapa kebijakan untuk menekan laju inflasi, yaitu melalui Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan Deregulasi Sektor Industri.
           
      Pengangguran adalah seseorang yang sudah digolongkan dalam angkatan kerja, yang secara aktif sedang mencari pekerjaan pada suatu tingkat upah tertentu, tetapi tidak dapat memperoleh pekerjaan yang diinginkannya. Jenis- jenis pengangguran ada empat, yaitu Pengangguran Friksional, Pengangguran Struktural, Pengangguran Siklis dan Pengangguran Musiman. Pengangguran akan menimbulkan dampak negatif jika sifat pengangguran sudah sangat struktural dan atau kronis diantaranya Terganggunya stabilitas perekonomian dan Terganggunya stabilitas sosial politik.
      Hubungan pengangguran dengan upah dan gaji serta inflasi digambarkan oleh Kurva Phillips yang ditemukan oleh A.W Phillips. Kurva Phillips bermanfaat untuk menganalisa pergerakaan pengangguran dan inflasi dalam jangka pendek. Ketika upah dan gaji tinggi, maka pengangguran rendah, dan inflasi tinggi. Upah dan gaji tinggi karena pekerja akan menekankan kenaikan upah dan gaji saat ada beberapa alternatif pekerjaan di luar pekerjaan sekarang. Upah dan gaji yang tinggi akan menyebabkan dorongan permintaan meningkat, kalau agregat permintaan naik, maka harga akan naik dan menimbulkaan inflasi dan sebaliknya.

A.    Saran

      Sangat penting untuk mempelajari masalah inflasi dan pengangguran. Karena hal ini menyangkut perekonomian secara keseluruhan. Begitu banyaknya pengangguran yang terjadi saat ini, kita bisa menganalisa serta mencari solusi atas permasalahan pengangguran di Indonesia.






DAFTAR PUSTAKA


Boediono. 2001. Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No.2 Ekonomi Makro. Yogyakarta : BPFE-YOGYAKARTA.
Boediono. 2001. Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No.5 Ekonomi Moneter. Yogyakarta : BPFE-YOGYAKARTA.
Hikmah Endraswati. 2010. Pengantar Ekonomi Makro. Salatiga : STAIN Salatiga Press.
 Nopirin. 2000. Pengantar Ilmu Ekonomi Makro & Mikro. Yogyakarta : BPFE-YOGYAKARTA
Prathama Rahardja dan Mandala Manurung. 2005. Teori Ekonomi Makro Suatu Pengantar Edisi Ketiga. Jakarta : Lembaga Penerbit  Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Sadono Sukirno. 2000. Makro Ekonomi Modern Perkembangan Pemikiran dari Klasik Hingga Keynesian Baru. Jakarta : Raja Grafindo Persada.


[1]Boediono, 2001, Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No.2 Ekonomi Makro, BPFE-YOGYAKARTA, Yogyakarta, hlm.155.
[2] Prathama Rahardja dan Mandala Manurung, 2005, Teori Ekonomi Makro Suatu Pengantar Edisi Ketiga, Lembaga Penerbit  Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.175-176.
[3] Ibid, hlm. 184-188.
[4] Boediono, Op.Cit, hlm. 162.
[5] Nopirin, 2000, Pengantar Ilmu Ekonomi Makro & Mikro, BPFE-YOGYAKARTA, Yogyakarta, hlm.177-179.
[6] Hikmah Endraswati, 2010, Pengantar Ekonomi Makro, STAIN Salatiga Press, Salatiga, hlm.74.
[7] Boediono, 2001, Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No.5 Ekonomi Moneter, BPFE-YOGYAKARTA, Yogyakarta, hlm.167-176.
[8] Nopirin, Op.Cit, hlm.181-183.
[9] Hikmah Endraswati, Op.Cit, hlm.77-79.
[10] Sadono Sukirno, 2000, Makro Ekonomi Modern Perkembangan Pemikiran dari Klasik Hingga Keynesian Baru, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.472-474.
[11] Prathama Rahardja dan Mandala Manurung, Op.Cit, hlm.195-198.
[12] Ibid.
[13] Hikmah Endraswati,  Loc.Cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar