PERKEMBANGAN TASAWUF DAN TAREKAT DI NUSANTARA
Disusun guna memenuhi tugas :
Mata Kuliah : Ilmu Tasawuf
Dosen Pengampu : Nurhuda Widiana, M.S.I

Disusun oleh :
1.
Purwati (1420220014)
2.
Umi
Julianti (1420220015)
3.
Muhammad
Sadam (1420220016)
![]() |
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
KUDUS
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
PRODI EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur marilah kita panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah banyak memberikan nikmat kepada kita. Rahmat
beserta salam semoga tetap tercurahkan kepada pemimpin akhir zaman yang sangat
dipanuti oleh pengikutnya yakni Nabi Muhammad SAW.
Makalah dengan tema Perkembangan Tasawuf dan
Tarekat di Nusantara ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Tasawuf.
Selanjutnya, penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan pengarahan-pengarahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu. Tidak lupa juga kepada Ibu dosen dan teman-teman yang lain
untuk memberikan sarannya kepada kami agar penyusunan makalah ini lebih baik
lagi.
Demikian, semoga makalah ini bermanfaat
khususnya bagi penyusun dan umumnya semua yang membaca makalah ini serta dapat
mendukung proses pembelajaran.
Kudus, 30 April 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul…………………………………………………………… i
Kata Pengantar…………………………………………………………... ii
Daftar Isi………………………………………………………………… iii
BAB I : PENDAHULUAN…………………………………………….. 1
A. Latar
Belakang Masalah…………………………………. 1
B. Rumusan
Masalah………………………………………... 1
C. Tujuan……………………………………………………. 2
BAB II : PEMBAHASAN………………………………………………. 3
A.
Perkembangan Tasawuf di Nusantara…………………… . 3
B.
Walisongo dan Sufi……………………………………..... 6
C. Tarekat
yang Berkembang di Indonesia………………….. 8
D.
Perkembangan Tarekat di Nusantara…………………….. 10
BAB III : PENUTUP…………………………………………………….. 18
A.
Kesimpulan……………………………………………….. 18
B.
Saran………………………………………………………. 19
Daftar Pustaka…………………………………………………………….. 20
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat
majemuk baik agama, suku daerah, adat dan sebagainya. Tasawuf memandang
memandang bahwa keanekaragaman agama di dunia hanya sekedar bentuknya,
sedangkan hakikatnya sama, karena semuanya mempunyai sumber yang sama dan
bertujuan menyembah Tuhan Pencipta Alam.
Perkembangan tasawuf dan tarekat di dunia
juga memasuki Indonesia seiring dengan proses masuknya Islam di Indonesia itu
sendiri. Agen Islamisasi Nusantara yang paling
berjasa adalah kaum sufi, dimana hampir semua daerah yang pertama memeluk
Islam bersedia menukar kepercayaan asalnya lantaran tertarik oleh ajaran
tasawuf. Di tangaan kaum sufi, Islam
disajikan dengan menekankan kesesuaian tradisi lokal dengan Islam, sehingga
keberadaannya kala itu lebih mudah diterima. Para sufi ini melalui
tarekat-tarekatnya juga membentuk kehidupan sosial bangsa Indonesia.
Banyak sekali tarekat-tarekat yang
berkembang di Nusantara diantaranya adalah Naqsabandiyah, Qadiriyah, Samaniyah,
Khalwatiyah, Khalidiyah, dan lain-lain. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai
“PERKEMBANGAN TASAWUF DAN TAREKAT DI NUSANTARA”.
B.
Rumusan Masalah
Dari
latar belakang tersebut dapat di rumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
perkembangan tasawuf di Nusantara?
2.
Siapa
sajakah walisongo sebagai sufi di tanah Jawa?
3.
Apa
saja tarekat yang berkembang di Indonesia?
4.
Bagaimana
perkembangan tarekat di Nusantara?
C.
Tujuan
Tujuan
dari penyusunan makalah ini adalah :
1.
Mengetahui
perkembangan tasawuf di Nusantara
2.
Mengetahui
walisongo sebagai sufi di tanah Jawa
3.
Mengetahui
tarekat yang berkembang di Nusantara
4.
Mengetahui
perkembangan tarekat di Nusantara
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan Tasawuf di Nusantara
Perkembangan tasawuf di Nusantara tidak
bisa terlepas dari sejarah Islam di Nusantara. Islam masuk di Indonesia karena
pengaruh dari Arab, Persia dan India. Islam masuk ke
Indonesia pada abad pertama Hijriah. Kemudian Islam di Indonesia mengalami
pasang surut seolah-olah menghilang beberapa abad lamanya. Tetapi, pada abad
ke-11 M, Islam menampakkan kekuasaannya lagi di Indonesia lewat paham Syi’ah,
kemudian pada abad ke-13 berubah lagi menjadi aliran Syafi’iyah. Menurut pendapat HAMKA, pengaruh Islam masuk di Indonesia yang
pertama adalah karena pengaruh dari Arab, beberapa pendapatnya yaitu :[1]
1.
Ibnu
Bathutthah, menyaksikan bahwa Raja Pasai bermazhab Syafi’i.
2.
Ibnu
Khaldun yang hidup sezaman dengan Ibnu Bathuthah, mengatakan dalam
‘Maqadimah”nya bahwa negeri Mesir adalah penganut Mazhab Syafi’i yang terbesar.
3.
Nama
dan gelar Raja-raja Pasai meniru Raja-raja keturunan Shalahuddin El-Ayubi di
Mesir : Al-Malik Shaleh, Al-Malikul Adil, Al-Malikul Mansyur dan sebagainya.
Dan nama-nama Raja India dan Persia di kala itu tidak memakai gelar seperti
itu. Sedang gelar Syah, baru dipakai setelah Malaka.
4.
Rupanya
sudah ada orang Indonesia yang naik haji. Dan Ibnu Bathutah mengatakan bahwa
Mazhab penduduk Mekkah yang umum ialah Mazhab Syafi’i. Maka kalau pengaruh
Islam dari India yang masuk terlebih dahulu, maka Mazhab Hanafi lah yang
dipeluk oleh Raja-raja Pasai.
5.
Ada
beberapa penyelidik mengatakan bahwa besar pengaruh India atas ke-Islaman di
Indonesia karena faham mistik India itu terdapat amat mendalam dalam
ke-Islamannya bangsa Indonesia.
6.
Ulama-ulama
Islam dalam sejarah Tasawuf yang hidup di Abad ke 14 yaitu di zaman kerajaan
Pasai, di zaman Ibnu Bathuthah menuntut ilmunya bukan ke India atau Persia tetapi
ke tanah Arab. Tasawuf pada zaman itu sejalan dengan Mazhab Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Khususnya Mazhab Syafi’i yang masuk ke Indonesia.
Dalam perkembangan Tasawuf di Indonesia,
pengaruh Ghazali Asy-Syafi’i lebih besar daripada pengaruh Al-Hallaj Asy-Syi’i.
Pada zaman kerajaan Islam Pasai, sudah ada orang Indonesia menjadi Guru Tasawuf
yang tinggi dan diakui, bukan saja di negerinya, bahkan mengajar di tanah Arab
dan banyak muridnya orang besar dalam Dunia Tasawuf. Diantaranya Al-Yafi’i,
seorang Syaikh yang karangan-karangannya tentang Tasawuf menjadi pedoman mereka
itu sampai sekarang. Negeri Pasai menjadi maju sebagai pelopor Mazhab Syafi’i,
sehingga kian lama kian banyaklah pedagang santri datang ke negeri itu baik
dari tanah Arab, India ataupun Persia. Maka suasana tasawuf inilah yang
meliputi Indonesia berabad-abad lamanya,
sejak Abad permulaan.[2]
1. Perkembangan Tasawuf di
Pulau Jawa
Di akhir abad ke XV
Masehi, tepatnya pada tahun 1479 M, berdirilah kerajaan Islam yang pertama di
pulau Jawa (di Demak, Jawa Tengah), dengan rajanya yang pertama adalah Raden
Patah, maka tercatat dalam sejarah bahwa semenjak itu pula tersebarnya ajaran
tasawuf. Penyebaran agama Islam di pulau Jawa, tidak terlepas dari usaha para
wali yang dikenal dengan nama “Wali Songo”, dengan menggunakan pendekatan
mistik, yang di dalamnya diisi ajaran tasawuf.
Dalam perkembangan Tasawuf di
Pulau Jawa, hampir sama pula dengan keadaan yang dialami oleh masyarakat Islam
di pulau lain, dimana mereka dihadapkan kepada dua aliran tasawuf yang
bertentangan; yaitu aliran Sunni (Salaf) dan aliran Falsafi, sebagai aliran
yang sudah berkembang di Jazirah Arabiyah dan sekitarnya.
Ajaran tasawuf yang bercorak Sunni
dan Falsafi di pulau Jawa, tetap dianut oleh masyarakat. Tetapi pada perkembangan
selanjutnya, tasawuf yang bercorak Falsafi inilah yang mengarah kepada aliran
kebatinan, sesuai kenyataan sekarang ini. Tentu saja aliran ini, sudah dimasuki
oleh unsur-unsur kepercayaan lain yang pernah dianut oleh masyarakat Jawa
sebelumnya. Sehingga mewujudkan suatu bentuk lain, yang disebut aliran
kebatinan dan kepercayaan.
Tetapi aliran tasawuf yang
beraliran Sunni, tetap dikembangkan oleh masyarakat Muslim, dengan tidak
meninggalkan unsur-unsur keislamannya. Hanya saja, pada perkembangan selanjutnya, tasawuf yang
bercorak Sunni ini diajarkan lewat Tarekat yang dianggap Mu’tabarah oleh Ulama
Tasawuf Indonesia.
2. Perkembangan Tasawuf di
Pulau Sumatera
Perkembangan tasawuf di
Sumatera, tidak terlepas dari upaya maksimal para ulama Shufi yang bermukim di
beberapa daerah di pulau tersebut, untuk mengembangkan ajarannya. Ulama-ulama Shufi yang sangat berpengaruh di Sumatera. Antara lain Syekh
Hamzah Pansuri, Syekh Syamsuddin bin
abdillah As-Sumatrani, Syekh Abdur Rauf bin Ali Al-Fansuri, dan Syekh Abdus Shamad
Al-Falimbani.
3. Perkembangan Tasawuf di
Pulau Kalimantan
Perkembangan tasawuf di
Kalimantan, sama halnya di pulau lain di Nusantara, dimana ulama yang bermukim
di sana, berupaya semaksimal mungkin untuk menyebarkan ajaran tasawufnya, melalui
dakwahnya, buku-buku karangannya, maupun melalui Tarekatnya.
Salah seorang Shufi yang terkemuka di Kalimantan Barat adalah
Syekh Ahmad Khatib As-Sambasi. Kemudian kita meninjau lagi perkembangan tasawuf
di Kalimantan Selatan; antara lain dikembangkan oleh Syekh Muhammad Nafis bin
Idris bin Husein Al-Banjari.
Ulama-ulama inilah yang membekali Ilmu Tasawuf yang sangat luas kepada Syekh Muhammad Nafis,
sehingga ia mendapatkan pengakuan yang tinggi oleh masyarakat luas di Kalimantan
selatan, dengan gelar Al-‘Alimul ‘Allamah Wal Fahhamah.
4. Perkembangan Tasawuf di Pulau Sulawesi
Perkembangan tasawuf di
Sulawesi, tidak jauh berbeda dengan keadaan di pulau lain, dimana ajaran
tasawuf yang diterimanya, ada yang bercorak Sunni dan ada pula yang bercorak Falsafi.
Dan yang sangat disayangkan, karena kebanyakan penganut tasawuf Falsafi
mencampur-baurkan ajaran tasawuf dengan ilmu hitam (guna-guna), sehingga makin
membingungkan masyarakat awam. Hal semacam inilah yang membuat citra tasawuf di
masyarakat semakin direndahkan, sehingga sekarang kurang diminati orang.[3]
B.
Walisongo dan Sufi
Beberapa catatan menunjukkan bahwa Islam
masuk ke tanah jawa telah diakui sejak tahun 1416. Pada tahun 1416 seorang Cina
Islam Ma Huan dengan juru bahasanya Ceng Ho sudah menerangkan tentang
orang-orang yang datang dari Barat dan tinggal di Indonesia dan tentang orang
Tionghoa masuk Islam. Batu nisan yang terdapat pada kuburan Maulana Malik
Ibrahim di Gresik, dekat Surabaya, terukir sebagai tanggal meninggalnya 822 H
atau 1419 M. ia seorang saudagar berasal dari Gujarat, India yang rupanya di
samping berniaga ia menyiarkan agama Islam.
Wali adalah keringkasan dari Waliyullah,
artinya orang yang dianggap dekat kepada Tuhan, orang keramat, yang mempunyai
bermacam-macam keanehan. Wali-wali itu dianggap orangyang mula-mula menyiarkan
agama Islam di Jawa dan biasa disebut walisongo. Dapat diduga bahwa wali-wali
itu dalam menyiarkan agamanya tidaklah merupakan pidato atau ceramah di depan
umum tetapi dalam kumpulan terbatas dimana pengikutnya kemudian bertambah
banyak maka terjadilah tabligh-tabligh itu diadakan di dalam rumah-rumah
perguruan yang biasa disebut madrasah atau pondok. Walisongo tersebut adalah :
1.
Syeikh
Maulana Malik Ibrahim, terkenal dengan sebutan Syeikh Maghribi, berasal dari
Gujarat, India. Ia dianggap sebagai pencipta pondok pesantren yang pertama. Ia
mengeluarkan muballigh-muballigh Islam yang mengembangkan agama suci itu ke
seluruh Jawa.
2.
Raden
Rakhmat terkenal dengan nama Sunan Ampel, berasal dari Kamboja, Indo-Cina. Ia
membuka asrama para ksatria di Ampel, Surabaya, di samping menyebarkan agama
Islam di seluruh Jawa Timur.
3.
Sunan
Makhdum Ibrahim atau Sunan Bonang. Ia dianggap pencipta gending darma dan
menyiarkan agama Islam di Jawa Timur pesisir sebelah utara.
4.
Raden
Paku atau Sunan Giri. Ia dianggap pencipta gending Asmaradana dan Pucung.
Daerah penyiaran Islamnya dikatakan di Sulawesi dan Sunda kecil. Ia berjiwa
ahli pendidikan dan kabarnya ialah yang mula-mula mengadakan cara pendidikan
untuk anak-anak dengan memakai permainan yang bersifat agama.
5.
Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati atau Fatahillah.
6.
Ja’far
Sadiq atau Sunan Kudus. Sunan ini menyebarkan Islam di sebelah pesisir utara
Jawa Tengah.
7.
Raden
Prawoto atau Sunan Muria. Cara ia menyiarkan agama ialah dengan mendekati kaum
dagang, nelayan dan pelaut.
8.
Syarifuddin
atau Sunan Drajat.
9.
R.M.
Syahid atau Sunan Kalijogo. Daerah penyebaran agama yang diambilnya ialah Jawa
Tengah bagian selatan.
Perguruan yang didirikan oleh para wali
biasanya murid-murid tinggal di rumah guru yang sangat dihormatinya dan dengan
sedikit demi sedikit dialirkanlah ke dalam hatinya rahasia-rahasia pelajaran
itu. Lalu terjadilah antara guru dengan murid suatu ikatan yang kokoh. Menjadi
kehormatan bagi seorang murid mengikuti pelajaran itu sampai ia mendapat
ijazah. Guru itu dianggap orang luar biasa. Keadaan luar biasa itu diperoleh
karena melatih diri dalam pelajaran-pelajaran rahasia karena ibadah siang dan
malam untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.[4]
C.
Tarekat Yang Berkembang di Indonesia
Ada
banyak sekali aliran tarekat yang berkembang di Indonesia antara lain:
1.
Tarekat
Qadiriyah didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jaelani (1077-1166) dan ia sering
pula disebut Al-Jilli. Tarekat ini banyak tersebar di dunia Timur, Tiongkok,
sampai ke pulau Jawa. Pengaruh tarekat ini cukup banyak meresap di hati
masyarakat yang dituturkan lewat bacaan manaqib pada acara-acara tertentu.
Naskah asli manaqib di tulis dalam bahasa Arab. Berisi riwayat hidup dan
pengalaman sufi Abdul Qadir Jaelani sebanyak empat puluh episode. Manaqib ini
di baca dengan tujuan agar mendapat berkah dengan sebab keramatnya. Syekh
Fansuri dikenal sebagai orang yang pertama kali menganutnya di Indonesia.
2.
Tarekat
Rifa’iyah didirikan oleh Syekh Rifa’i (Ahmad bin Ali bin Abbas) yang wafat di
Umm Abidah pada tahun 578 H. Tarekat ini banyak tersebar di daerah Aceh, Jawa,
Sumatera Barat, Sulawesi dan daerah-daerah lainnya. Ciri tarekat ini adalah penggunaan
tabuhan rebana dalam wiridnya, yang diikuti dengan tarian dan permainan debus,
yaitu menikam diri dengan sepotong senjata tajam yang diiringi dengan
zikir-zikir tertentu. Permainan debus ini berkembang pula di daerah Sunda,
khususnya Banten dan Jawa Barat.
3.
Tarekat
Naqsyabandiah didirikan oleh Muhammad bin Bhauddin al-Uwaisi al-Bukhari
(727-791). Ia biasa disebut Naqsabandi karena keahliannya memberikan lukisan
kehidupan yang gaib-gaib. Tarekat ini banyak tersebar di Sumatera, Jawa, maupun
Sulawesi. Di daerah Sumatera Barat, tepatnya di Minangkabau, tarekat ini dibawa
oleh Syaikh Ismail al-Khalidi al-Kurdi, sehingga dikenal dengan sebutan Tarekat
Naqsabandiyah al-Khalidiyah. Amalan tarekat ini tidak banyak dijelaskan ciri-cirinya.
4.
Tarekat
Samaniyah didirikan oleh Syaikh Saman yang meninggal dalam tahun 1720 di
Madinah. Tarekat ini banyak tersebar luas di Aceh, dan mempunyai pengaruh yang
dalam di daerah ini, juga di Palembang dan daerah lainnya di Sumatera. Tarekat
ini juga sangat besar pengaruhnya terutama di daerah pinggiran kota. Di daerah
Palembang, banyak orang yang membaca riwayat Syekh Saman sebagai tawassul untuk
mendapatkan berkah. Ciri tarekat ini zikirnya dengan suara keras dan
melengking, khususnya ketika mengucapkan lafzh la ilaha illa Allah. Juga
terkenal dengan ratib Saman yang hanya mempergunakan kata “hu” yang berarti Dia
(Allah).
5.
Tarekat
Khalwatiyah didirikan oleh Zahiruddin tahun 1397 di Khurusan dan merupakan
cabang dari tarekat Suhrawandi yang didirikan oleh Abdul Qadir Suhrawandi tahun
1167. Tarekat ini mula-mula tersiar di Banten oleh Syekh Yusuf Al-Khalwati
Al-Makasari pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Tarekat ini
sangat banyak pengikutnya di Indonesia,
dimungkinkan karena suluk dari tarekat ini sangat sederhana dalam
pelaksanaannya. Untuk membawa jiwa ke tingkat yang lebih tinggi melalui tujuh
tingkat, yaitu peningkatan dari nafsu marah, lawwamah, muthmainnah, radhiyah,
mar-dhiyah dan nafsu kamilah.
6.
Tarekat
Al-Haddad didirikan oleh Sayyid Abdullah bin Alwibin Muhammad al-Haddad (lahir
1044 H). Ia pencipta ratib hadad. Tarekat ini banyak dikenal di Hadramaut,
Indonesia, India, Hijaz, Afrika Timur dan lain-lain.
7.
Tarekat
Khalidiyah merupakan salah satu cabang dari tarekat Naqsabandiyah di Turki yang
berdiri pada abad ke 19. Pokok-pokok tarekat ini dibangun oleh Syekh Sulaiman
Zuhdi Al-Khalidi. Tarekat ini berisi tentang adab dan zikir, tawasul dalam
tarekat, olah suluk, tentang saik dan maqamnya tentang ribath, dan beberapa
fatwa pendek dari Syekh Sulaiman Al Zuhdi Al-Khalidi mengenai beberapa
persoalan yang diterima dari bermacam-macam daerah tarekat ini banyak
berkembang di Indonesia.
8.
Tarekat
Syattariyah kebanyakan pengikutnya di Sumatera Selatan dan Syekh Abd al-Rauf
Sinkel adalah orang pertama yang menyebarkan tarekat ini.[5]
D.
Perkembangan Tarekat di Nusantara
Pada abad ke 16 dan 17, tarekat telah
menjadi bagian penting di dalam kehidupan masyarakat Islam Nusantara. Tarekat
yang berkembang di abad tersebut antara lain tarekat Qadiriyah, Syattariyah,
Naqsabandiyah, Khalwatiyah, Samaniyah dan Alaawiyah. Beberapa tarekat lain
seperti Tijaniyah baru berkembang pada abad ke-20. Tarekat Qadiriyah wa
naqsabandiyah berkembang sekitar tahun 1850-an.[6]
Pada awalnya, negara yang mempengaruhi
berkembangnya tarekat di Indonesia adalah India (Gujarat), dari sanalah Hamzah
Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani (w. 1630) dan Nuruddin ar-Raniri belajar
menimba ilmu dan mendapatkan ijazah serta menjadi khalifah.Namun pada abad-abad
berikutnya, beberapa tarekat besar masuk ke Indonesia melalui Makkah dan Madinah.
Dengan cara ini pula Tarekat Syattariyah yang berasal dari India berkembang di Makkah
dan Madinah dan kemudian berpengaruh luas di Indonesia. Shufi Indonesia yang
pertama kali menulis karangan tentang tarekat adalah Hamzah Fansuri. Dari
namanya saja kita tahu bahwa beliau berasal dari kota Fansur (sebutan orang
Arab untuk kota Barus, kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara
Sibolga dan Singkel). Dalam tulisannya, ia mengungkapkan gagasan nya melalui
syair bercorak wihdatul- wujud yang cenderung kepada penafsiran panteistik. Dalam
syairnya Hamzah juga bercerita tentang kunjungannya ke Makkah, al-Quds, Baghdad
(disana ia mengunjungi makam syekh ‘Abdul-Qadir al-Jilani) dan ke Ayuthia.
Dalam syairnya juga ia mengaku menerima ijazah Tarekat Qadiriyah di Baghdad
bahkan diangkat menjadi khalifah dalam tarekat ini. Dengan demikian jelaslah,
bahwa Hamzah Fansuri (w 1590) adalah shufi pertama di Indonesia yang diketahui
secara pasti menganut Tarekat Qadiriyah. Tarekat Qadiriyah adalah tarekat
pertama yang masuk ke Indonesia. Di Jawa, pengaruh tarekat ini banyak ditemui
di daerah Cirebon dan Banten. Dan menurut cerita rakyat setempat, Syaikh
‘Abdul-Qadir al-Jilani pernah datang ke Jawa, bahkan mereka dapat menunjukkan letak
kuburannya. Indikasi lain tentang pengaruh Tarekat Qadiriyah di Banten adalah,
adanya pembacaan kitab manaqib syekh ‘Abdul-Qadir al-Jilani pada acara-acara tertentu
di kehidupan beragama masyarakat disana.
Tokoh tarekat Syadziliyah yang terkenal antara
lain Ibnu ‘Athoillah as- Sakandari, dan ‘Abdul-Wahhab as-Sya’rani. Shufi lain yang
juga terkenal di Indonesia adalah Syamsuddin (w.1630), murid Hamzah Fansuri
yang banyak menulis kitab dalam bahasa Arab dan Melayu. Dia perumus pertama ajaran
martabat tujuh di nusantara serta metode pengaturan nafas pada saat ber- dzikir
(yang dianggap sebagai pengaruh yoga pranayama dari India ). Tapi Nuruddin
ar-Raniri dalam kitabnya Hujjatus-Shiddiq li daf’iz-Zindiq menganggap, bahwa
ajaran martabat tujuh Syamsuddin termasuk ajaran wihdatul wujud yang dianggap
menyimpang. Syamsudin sendiri berafiliasi dengan Tarekat Syattariyah seperti
halnya Burhanpuri, bahkan Tarekat Syattariyah menjadi sangat populer di
Indonesia sesudah wafatnya. Tidak diketahui secara jelas kapan tahun
kelahirannya, tetapi dalam kitab Bustanus-Salatin karya Nuruddin, Syamsuddin
wafat tahun 1039 H (1630 M). Shufi selanjutnya adalah Nuruddin ar-Raniri. Nama
lengkapnya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid ar-Raniry,
berasal dari keluarga Arab Ranir Gujarat. Wafat tahun 1068/1658. Ibunya orang
Melayu, ayahnya imigran dari Hadromaut. Ar-Raniry pernah menjabat
Syaikhul-Islam atau mufri di kerajaan Aceh pada pemerintahan Sultan Iskandar Tsani
dan Sultanah Shofiatud-Din. Ar-Raniri menetap di Aceh selama tujuh tahun (1637
– 1644) sebagai mufti dan penulis produktif yang menentang doktrin wihdatul
wujud. Ia mengeluarkan fatwa untuk memburu orang yang dianggap sesat, membunuh
orang yang menolak bertobat dari kesesatan, serta membakar buku-buku yang
berisi ajaran sesat. Pada tahun 1054/1644 ar-Raniry meninggalkan Aceh kembali ke
Ranir karena mendapatkan serangan balik dari lawan-lawan polemiknya, yaitu
murid-murid Syamsuddin yang dituduh menganut paham Panteisme. Sebagai seorang
shufi, ar-Raniry juga memiliki banyak keahlian, ia menguasai ilmu teologi, fiqh,
hadits, sejarah, perbandingan agama, dan politik. Dalam ber-tarekat, ia
mengamalkan Tarekat Rifa’iyah dan menyebarkan ajaran tarekat ini ke wilayah
Melayu, selain itu ia juga menganut tarekat Aydrusiyah dan Qadiriyah. Ia banyak
menulis kitab tentang ilmu kalam dan tasawuf, menganut aliran tauhid
Asy’ariyah, dan paham wihdatul-wujud yang lebih sedikit moderat. Ar-Raniry
tercatat sebagai tokoh shufi terakhir yang membawa pengaruh bagi semua tarekat yang
berkembang di Indonesia dan berasal langsung dari India. Sepeninggalnya,
cabang- cabang tarekat dari India berkembang dulu di Makkah-Madinah, kemudian
di bawa ke Indonesia, diantaranya adalah Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh
murid utamanya, syekh Abdul Rauf Singkel. Syekh Abdul Rauf belajar di Makkah
selama 19 tahun dengan guru-guru tarekat, diantaranya adalah syekh al-Qusyasyi,
Ibrahim al-Kurani, serta puteranya syekh Muhammad Thahir di Madinah.
Sekembalinya dari Makkah tahun 1661, ia menjadi ahli fiqh terkenal di Aceh dan seorang
shufi yang menyeimbangkan pandangan para pendahulunya dalam mengajarkan zikir dan
wirid tarekat Syattariyah. Muridnya menyebarkan tarekat ini ke Sumatera Barat
melalui syekh Burhanuddin Ulakan, serta ke Jawa melalui syekh Muhyidin dari
Pemijahan yang sampai sekarang ajarannya masih diamalkan di sana. Al-Qusyasyi
(w. 1660) dan al-Kurani (w. 1691) mewakili perpaduan antara tradisi intelektual
shufi India dengan Mesir. Keduanya adalah pewaris syekh Zakariya al-Anshori dan
‘Abdul- Wahab as-Sya’rani dalam bidang fiqh dan tasawuf, sekaligus menjadi
pengikut sejumlah tarekat di India, yang paling berpengaruh adalah Tarekat Syattariyah
dan Naqsyabandiyah.
Abad berikutnya, orang orang Indonesia
yang bermukim di Arab tertarik dengan ajaran syekh Muhammad bin Abdul Karim
as-Samman (w. 1775) ulama Madinah, Tarekat Sammaniyah merupakan gabungan dari
tarekat Khalwatiyah, Qadiriyah, Naqsyabandiyah dan Syadziliyah. Syekh Muhammad
Samman mengembangkan cara berzikir baru yang ekstatik dan menyusun sebuah ratib
(doa-doa) sendiri. Secara formal tarekat ini merupakan salah satu cabang dari Tarekat
Khalwatiyah, karena silsilah syekh Samman hanya melalui gurunya yaitu syekh Musthafa
al-Bakri, pengamal tarekat Kholwatiyah, Walaupun demikian ia telah menjadi sebuah
tarekat tersendiri dengan zawiyah sendiri dan dengan pengikut lokal ketika
syaikh- nya masih hidup. Murid syekh Samman yang paling terkenal adalah syekh
Abdus Shomad al- Palimbani, pengarang sejumlah kitab-kitab penting berbahasa
Melayu. Beberapa ulama di Palembang berafiliasi dengan tarekat ini, sehingga
tarekat ini mendapat kedudukan yang kokoh di kesultanan Palembang, bahkan
Sultan Palembang telah menyediakan sejumlah dana yang cukup besar untuk
membangun zawiyah syekh Samman di Jeddah. Sesudah syaikh Samman wafat,
orang-orang Indonesia yang bermukim di Arab, belajar tarekat ini dari
khalifahnya yang bernama Shiddiq bin Umar Khan. Ulama Indonesia yang
menyebarkan tarekat ini adalah syekh Nafis al-Banjari dengan karyanya
ad-Durrun- Nafis dalam bahasa Melayu, ia menyebarluaskan tarekat ini di
Kalimantan. Syekh Nafis al- Banjari juga mengamalkan berbagai tarekat, seperti Tarekat
Qadiriyah, Syattariyah, Naqsyabandiyah, Khalwatiyah dan Sammaniyah.
Di Sulawesi Selatan, tarekat Sammaniyah
bertemu dengan Tarekat Khalwatiyah. Keduanya bersaing dan saling mempengaruhi
sehingga pada akhirnya bergabung menjadi tarekat Khalwatiyah Sammaniyah.
Tarekat ini berkembang sedikit berbeda dengan ritual tarekat Sammaniyah lainnya
di nusantara, dan keanggotaannya terbatas pada kelompok etnis Bugis
saja.
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan tarekat gabungan serupa dengan Sammaniyah, yakni teknik spiritual Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah menjadi unsur utama yang ditambah dengan unsur-unsur tarekat lain. Tarekat ini merupakan satu satunya tarekat yang
didirikan oleh ulama asli Indonesia syekh Ahmad Khatib Sambas (Kalimantan Barat) yang lama belajar di Makkah dan sangat dihormati.[7]
saja.
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan tarekat gabungan serupa dengan Sammaniyah, yakni teknik spiritual Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah menjadi unsur utama yang ditambah dengan unsur-unsur tarekat lain. Tarekat ini merupakan satu satunya tarekat yang
didirikan oleh ulama asli Indonesia syekh Ahmad Khatib Sambas (Kalimantan Barat) yang lama belajar di Makkah dan sangat dihormati.[7]
Di Indonesia sebagaimana kajian Van
Bruinessen, tarekat yang paling banyak pengaruhnya adalah tarekat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah. Tarekat ini memiliki pengaruh hampir di seluruh Nusantara.
Pengaruh terbesarnya di Jawa. Tarekat ini pada mulanya berkembang di Jawa Barat
melalui murid Syaikh Ahmad Khatib, yaitu Syaikh Abdul Karim dari Banten. Dua
murid lainnya adalah Syaikh Tolhah dari Cirebon dan KH.Ahmad Hasbullah dari
Madura. Serta Muhammad Ismail ibn Abd. Rahim dari Bali dan Syaikh Yasin dari
Kedah yang kemudian menetap di Mempawah, Kalimantan Barat. Tarekat ini juga
berkembang di Jawa Tengah melalui Pesantren Mranggen dengan mursyid tarekat
Kiai Muslih yang memiliki jalur spiritual dengan Syaikh Abd al-Karim. Di Jawa
Timur juga berkembang melalui pesantren Darul Ulum dengan Mursyid Kiai Romli
yang memperoleh ijazah dari Kiai Kholil Bangkalan.
Tarekat Syattariyah di Nusantara tidak
memiliki pengaruh yang signifikan. Tarekat ini berkembang di Sumatera dan Jawa
melalui jalur Abdurauf ibn Ali al-Sinkili. Sedangkan ke Jawa melalui Syaikh
Abdul Muhyi. Ia adalah murid Syaikh Abdurrauf dari Jawa yang kemudian menjadi
pengembang tarekat Syattariyah di Jawa. Menurut Rinkes, Syaikh Muhyi berasal
dari Mataram, ayahnya bernama Syaikh Lebe Warta Kusuma, salah satu keturunan
dari kerajaan Galuh (ayahnya Kiai Kentol Penengah, putra Sang Harepen Nembi,
juga keturunan dari kerajaan Galuh), ibunya Nyi Raden Ajeng Tangan Djiah, salah
satu keturunan dari lajur kanan Nabi. Mula pertama ia menyebarkan ajaran
tarekat di Pamijahan wilayah kabupaten Tasikmalaya. Makamnya di Sapawardi atau
pamijahan hingga kini masih terawat dan diziarahi banyak orang. Tarekat ini
berkembang ke Jawa Timur melalui Kiai Bagus Ahmadi di Kalangbret Tulungagung.[8]
Tarekat Naqsabandiyah berkembang di
Indonesia karena diperkenalkan oleh Syaikh Yusuf Makassar. Yusuf berasal dari
Kerajaan Islam Gowa. Di Aceh, negeri yang pada masa itu merupakan pusat
pendidikan Islam yang utama di nusantara, ia berbaiat masuk sebuah tarekat,
yaitu tarekat Qadiriyah. Setibanya di Yaman, ia mempelajari tarekat
Naqsabandiyah lewat seorang Syaikh Arab terkenal, Muhammad ‘Abd Al-Baqi. Di
Madinah, ia berguru pula kepada tokoh Naqsabandiyah terkenal lainnya, Ibrahim
Al-Kurani, tetapi ia menyebut gurunya ini hanya sebagai seorang Syaikh tarekat
Syattariyah. Yusuf belajar kepada berbagai guru lain di Makkah dan Madinah, dan
mengadakan perjalanan hingga ke Damaskus. Di sini ia berbaiat masuk tarekat
Khalwatiyah. Yusuf kembali ke Indonesia yaitu di Banten tahun 1672. Ia pun
menyebarkan ajaran tarekat ini di Banten. Seorang guru dari Banten menyebarkan
tarekat ini ke daerah Bogor dan Cianjur. Ada tanda-tanda bahwa tarekat
naqsabandiyah juga mempunyai pengikut di Aceh. Ketika Syaikh Yusuf Makassar
memperkenalkan tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, bukanlah tarekat sebagai
organisasi yang dibawanya melainkan hanya teknik-tekniknya, terutama zikirnya
dan metodenya dalam mengatur nafas. Tarekat Naqsabandiyah barulah berwatak
gerakan massa pada paruh kedua abad ke 19 sebagai akibat perubahan-perubahan di
Indonesia sendiri juga pengaruh dari dunia muslim yang lebih luas.
Penyebaran Tarekat Naqsabandiyah di Nusantara dapat dilihat dari para
tokoh-tokoh tarekat ini yang mengambangkan ajaran Tareqat Naqsabandiyah di
bebarapa pelosok nusantara diantaranya adalah :
- Muhammad Yusuf adalah yang dipertuan muda di kepulauan Riau, beliau menjadi sultan di pulau tempat dia tinggal. Dan mempunyai istana di penyengat dan di Lingga.
- Di Pontianak, sebelum perkembangannya telah ada Tarekat Naqsabandiyah Mazhariyah. Tarekat Naqsabandiyah mulai dikembangkan oleh Ismail Jabal yang merupakan teman dari Usman al-Puntani (ulama yang terkenal di Pontianak sebagai penganut Tasawuf dan penerjemah tak sufi)
- Di Madura, Tarekat Naqsabandiyah sudah hadir pada abad ke 11 hijriyah. Tarekat Naqsabandiyah Mazhariyah merupakan Tarekat yang paling berpengaruh di Madura dan juga di beberapa tempat lain yang banyak penduduknya bersal dari madura, seperti surabaya, Jakarta, dan Kalimantan Barat.
- Di Dataran Tinggi Minangkabau tarekat Naqsabandiyah adlah yang paling padat. Tokohnya adalah jalaludin dari Cangking, ’Abd al Wahab, Tuanku Syaikh Labuan di Padang. Perkembangannya di Minangkabau sangat pesat hingga sampai ke silungkang, cangking, Singkarak dan Bonjol.
- Di Jawa Tengah berasal dari Muhammad Ilyas dari Sukaraja dan Muhammad Hadi dari Giri Kusumo. Popongan menjadi salah satu pusat utama Naqsabandiyah di Jawa Tengah.
Perkembangan selanjutnya
di Jawa antara lain di Rembang, Blora, Banyumas-Purwokerto, Cirebon, Jawa Timur
bagian Utara, Kediri, dan Blitar.
Tarekat ini merupakan
satu-satunya tarekat yang terwakili di semua provinsi yang berpenduduk
mayoritas muslim. Tarekat ini sudah tersebar hampir keseluruh provinsi yang ada
di tanah air yakni sampai ke Jawa, Sulawesi Selatan, Lombok, Madura, Kalimantan
Selatan, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan Barat, dan daerah-daerah
lainnya. Pengikutnya terdiri dari berbagai lapisan masyarakat dari yang
berstatus sosial rendah sampai lapisan menengah dan lapisan yang lebih tinggi.
Tarekat Khalidiyah diperkenalkan oleh
Syaikh Ismail Minangkabawi setelah kembali dari Makkah. Ismail dibaiat masuk
tarekat Naqsabandiyah oleh khalifah dari Maulana Khalid di Mekah. Sebelum
mengadakan perjalanan ke Asia Tenggara, dapat dipastikan bahwa ia telah
bertahun-tahun mengajarkan tareket Naqsabandiyah-Khalidiyah di Makkah. Ismail
menjadikan Singapura sebagai basis sementaranya dan mulai mengajarkan tarekat
di sana, tetapi juga mengungkapkan keinginannya untuk mengunjungi Riau. Yang
dipertuan Muda, Raja Ali (Raja Riau) bersama kerabatnya menjadi murid Syaikh
Ismail dan semenjak itu mengamalkan zikir naqsabandiyah bersama dua kali
seminggu. Tarekat Khalidiyah juga mulai menyebar di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Pada tahun 1957 oleh sejumlah kiai tarekat
senior yang semuanya berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama membentuk Jam’iyah Ahl
Al-Thariqah Al-Mu’tabarah dengan tujuan mempersatukan semua tarekat yang
mu’tabar demi mempertahankan kepentingan bersama. Dengan kata mu’tabar dimaksudkan
bahwa tarekat bersangkutan mengindahkan syariat dan termasuk Ahl Al-Sunnah wa
Al-Jama’ah dan harus memiliki silsilah yang sah yaitu berkesinambungan sampai
Nabi sendiri. Ketua umumnya adalah Kiai Musta’in. pada tahun 1977 Kiai Musta’in
ikut serta dalam kampanye Golkar. Dan dia dianggap menghianati NU karena saat itu NU terwakili
oleh partai Islam PPP. Pada Muktamar NU tahun 1979 muncullah wadah tarekat baru
Jam’iyyah Ahl Al-Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Nahdhiyah. Pimpinan utamanya adalah
Kiai Adlan Ali.[9]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perkembangan tasawuf di Nusantara tidak
bisa terlepas dari sejarah Islam di Nusantara. Pada abad ke-11 M, Islam menampakkan kekuasaannya lagi di Indonesia
lewat paham Syi’ah, kemudian pada abad ke-13 berubah lagi menjadi aliran
Syafi’iyah. Dalam perkembangan
Tasawuf di Pulau Jawa dimana mereka dihadapkan kepada dua aliran tasawuf yang
bertentangan; yaitu aliran Sunni (Salaf) dan aliran Falsafi. Tetapi pada
perkembangan selanjutnya, tasawuf yang bercorak Falsafi inilah yang mengarah
kepada aliran kebatinan, sesuai kenyataan sekarang ini. Perkembangan tasawuf di
Sumatera, tidak terlepas dari upaya maksimal para ulama Shufi yang bermukim di
beberapa daerah di pulau tersebut, untuk mengembangkan ajarannya. Ulama-ulama Shufi yang sangat berpengaruh di Sumatera. Antara lain Syekh
Hamzah Pansuri, Syekh Syamsuddin bin
abdillah As-Sumatrani, Syekh Abdur Rauf bin Ali Al-Fansuri, dan Syekh Abdus Shamad
Al-Falimbani. Perkembangan tasawuf di Kalimantan, sama halnya di pulau lain di
Nusantara, Salah seorang Shufi yang terkemuka di Kalimantan Barat adalah Syekh
Ahmad Khatib As-Sambasi. Kemudian kita meninjau lagi perkembangan tasawuf di
Kalimantan Selatan; antara lain dikembangkan oleh Syekh Muhammad Nafis bin
Idris bin Husein Al-Banjari. Ulama-ulama inilah yang membekali Ilmu
Tasawuf yang sangat luas kepada Syekh
Muhammad Nafis, sehingga ia mendapatkan pengakuan yang tinggi oleh masyarakat
luas di Kalimantan selatan, dengan gelar Al-‘Alimul ‘Allamah Wal Fahhamah.
Perkembangan tasawuf di Sulawesi, tidak jauh berbeda dengan keadaan di pulau
lain, dimana ajaran tasawuf yang diterimanya, ada yang bercorak Sunni dan ada
pula yang bercorak Falsafi. Dan yang sangat disayangkan, karena kebanyakan
penganut tasawuf Falsafi mencampur-baurkan ajaran tasawuf dengan ilmu hitam
(guna-guna), sehingga makin membingungkan masyarakat awam.
Walisongo
yaitu Syeikh Maulana Malik Ibrahim, Raden Rakhmat terkenal dengan nama Sunan
Ampel, Sunan Makhdum Ibrahim atau Sunan Bonang, Raden Paku atau Sunan Giri,
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati atau Fatahillah., Ja’far Sadiq atau
Sunan Kudus, Raden Prawoto atau Sunan Muria, Syarifuddin atau Sunan Drajat, dan
R.M. Syahid atau Sunan Kalijogo.
Ada banyak
sekali aliran tarekat yang berkembang di Indonesia antara lain: Tarekat
Qadiriyah, Tarekat Rifa’iyah, Tarekat Naqsyabandiah, Tarekat Samaniyah, Tarekat
Khalwatiyah, Tarekat Al-Haddad, Tarekat Khalidiyah dan Tarekat Syattariyah.
Tarekat yang
berkembang di Indonesia dipengaruhi oleh tokoh yang memperkenalkan tarekat
tersebut di antaranya Yusuf Makassari, Syaikh Ahmad Khatib, Ismail
Minangkabawi,dll sehingga tarekat bisa di kenal secara meluas di seluruh
Nusantara.
B.
Saran
Sebagai Mahasiswa, kita harus mengetahui
perkembangan Islam di Nusantara terutama perkembangan tasawuf dan tarekat nya.
Apabila kita ingin semakin mendekatkan diri kepada Allah, kita bisa belajar
tasawuf dan tarekat dengan guru yang ahli dalam tasawuf dan tarekat. Kita juga
bisa memilih tarekat yang tidak menyimpang dari ajaran Islam setelah kita
mempelajari materi tentang perkembangan tasawuf dan tarekat di Nusantara ini.
DAFTAR PUSTAKA
Aboebakar Atjeh. 1984. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf.
Solo :Ramadhani.
HAMKA.
1994. Tasauf Perkembangan dan
Pemurniannya. Jakarta : Pustaka Panjimas.
Martin
Van Bruinessen. 1998. Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia. Bandung: Mizan.
Nur Syam. 2013. Tarekat Petani Yogyakarta :LKiS Yogyakarta.
Tamami HAG. 2011. Psikologi Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Muhammad Rouf.
2014. Sejarah Perkembangan Tasawuf, http://www.academia.edu/5229076/Sejarah_Perkembangan_Tasawuf_. diakses tanggal 30 April 2016.
https://web.facebook.com/abunawasmajdub/posts/184153585063828?_rdr. diakses tanggal 30 April 2016.
[3]
Muhammad Rouf, 2014, Sejarah Perkembangan Tasawuf, http://www.academia.edu/5229076/Sejarah_Perkembangan_Tasawuf_, diakses tanggal 30 April 2016.
[7]
https://web.facebook.com/abunawasmajdub/posts/184153585063828?_rdr,
diakses tanggal 30 April 2016.
Butuh Hiburan? Butuh Refreshing??
BalasHapusYuk Mainkan Live Casino bersama Winning303..
Hadirkan Dealer Profesional dan Cantik Yang Siap Menemani Permainan Anda 24Jam Nonstop!!
Ayo Gabung Dengan Kami...Gratiss!!
Winning303 juga menyediakan permainan lain dengan 1 ID...
1. Sportsbook
2. Poker
3. Slot Online
4. Lottery/Togel
5. Sabung Ayam
Hubungi Kami di :
Customer Service 24 Jam
WA: +6287785425244
Billiards telah menyedot perhatian banyak orang belum lama ini. Game ini terbilang unik dan seru untuk dimainkan. Game keren ini dapat dimainkan melalui mobile dan PC.
BalasHapusBerikut Tips Main Agar Menang Terus
▶ Menghindari pukulan dari arah tengah
▶ Bidik dua bola
▶ Menggunakan kekuatan yang pas
▶ Berlatih
Promo Bonus menarik dari BOLAVITA :
> BONUS NEW MEMBER 10%
> BONUS SETIAP HARI 5%
> BONUS REFERRAL 10%
> BONUS ROLLINGAN 0.5%
KLIK DISINI UNTUK MENDAFTAR BOLAVITA
Transaksi bisa dilakukan melalui :
=> PULSA ( XL & TELKOMSEL )
=> E-wallet (OVO, LINK AJA, GO-PAY, JENIUS dan DANA)
=> Bank (BCA, BRI, BNI, MANDIRI, CIMB NIAGA dan DANAMON)
Untuk informasi lebih lanjut bisa hubungi kami via livechat ataupun :
✔ WA / TELEGRAM : +62812-2222-995
✔ INSTAGRAM : @bola.vita
✔ FACEBOOK : @bolavita.ofc